BidadariTurun Dari Kayangan is on Facebook. Join Facebook to connect with Bidadari Turun Dari Kayangan and others you may know. Facebook gives people Tajuk Bidadari Bidadari Surga Penulis Tere Liye Penerbit Republika Tahun terbit April 2017 Cetakan XXVI Jumlah muka surat 363 Selepas membaca novel Rindu, saya mula meminati penulisan Tere Liye. Mula mencari-cari senarai novel yang telah dihasilkan beliau. Sehingga tahap menghantar e-mail ke Gramedia syarikat kedai buku ternama di Indonesia bagi mendapatkan novel-novel Tere Liye! Kebetulan sekali, tak lama kemudian suami ada urusan di Makassar, Indonesia. Saya minta suami belikan 4 buah novel Tere Liye siap beri gambar novel-novel tersebut bagi memudahkan pencarian. Beberapa hari di sana, suami hantar gambar novel-novel yang dah dibeli untuk saya. Sembilan buah! Bukan empat. Alhamdulillah....teramatlah sukaaaaa! 😍 Bidadari Bidadari Surga...novel Tere Liye yang kedua saya baca. Ia sebenarnya novel ke-12 beliau. Lagi 11 tu saya belum ada dan belum pernah baca termasuk 'Hafalan Shalat Delisa'. Novel ini telah diterbitkan buat pertama kali pada tahun 2008. Sebuah novel kekeluargaan yang sarat dengan cinta tanpa syarat dan suka duka kehidupan. Novel yang penuh dengan motivasi dan semangat juang. Sesuai untuk semua golongan pembaca. SINOPSIS Mengisahkan kehidupan keluarga di Lembah Lahambay, Laisa seorang kakak sulung kepada tiga adik lelaki Dalimunte, Ikanuri & Wibisana dan seorang adik perempuan Yashinta. Biarpun sebenarnya adik-adik itu bukanlah saudara kandungnya, dengan cinta tanpa syarat Laisa menumpahkan seluruh kasih sayang dan pengorbanan buat adik-adiknya. Laisa seorang yang bersemangat tinggi dan sentiasa berusaha demi memastikan adik-adiknya mendapat pendidikan dan menjalani hidup yang jauh lebih baik. Sehingga satu detik, Laisa sanggup mempertaruhkan nyawanya di hadapan tiga ekor harimau Gunung Kendeng demi menyelamatkan Ikanuri dan Wibisana. Laisa tak pernah berkecil hati biarpun sebelumnya Ikanuri telah menghina rupa fizikalnya yang jauh berbeza dengan adik-adiknya Laisa berkulit hitam, bertubuh pendek. Baginya, dia harus sentiasa kuat jiwa dan sentiasa melindungi adik-adiknya. Dalam soal pendidikan, Laisa dan ibu mereka - Mamak Lainuri sangat tegas dan garang. Mamak Lainuri dan Laisa berusaha keras demi menampung persekolahan dan kehidupan mereka sekeluarga. Laisa juga seorang yang sentiasa menyokong dan percaya terhadap usaha baik adik-adiknya. Ini dapat dilihat ketika Dalimunte mengemukakan idea membina kincir air bagi mengairi ladang-ladang penduduk kampung tiada sistem pengairan ketika itu, penduduk kampung hanya bergantung kepada air hujan. Tiada penduduk kampung yang menerima dan yakin idea tersebut, tetapi Laisa menjadi orang pertama yang percaya dan seterusnya menyokong idea adiknya. Laisa seorang yang kuat pergantungan pada Allah. Ini dapat dilihat saat dia diuji dengan jodoh yang tak kunjung tiba. Kerana kasih, adik-adiknya turut menolak untuk berkahwin namun pada akhirnya semua berkahwin atas desakan Laisa, pada umur sedikit lewat. Pengakhiran novel ini sangat menyentuh rasa. Perkahwinan terakhir, pada detik-detik akhir hayat Laisa. Juga epilog yang disertakan oleh penulis, sangat membekas di hati. PETIKAN NOVEL "Ah, Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga kita. Perkebunan ini. Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua ini...." Kak Laisa menghela nafas, terdiam lagi. "Apakah Kakak tetap menginginkan menikah? Tentu saja, Dali. Namun jika perjodohan itu harus datang, Kakak tidak ingin proses itu justru mengganggu kebahagiaan yang telah ada. Bukan karena sebutan istri kedua itu, Dali. Bukan pula karena cemas apa yang akan dipikirkan tetangga. Tetapi Kakak tidak mau pernikahan itu mengganggu kebahagiaan yang telah ada...." - Novel Bidadari Bidadari Surga yang diangkat sebagai novel 'BEST SELLER' juga telah di bawa ke layar filem pada tahun 2012. ~ Jika dulu, tak pernah terfikir nak baca novel Indonesia. Tapi sekarang, dah jadi pengumpul koleksi novel Andrea Hirata dan Tere Liye! Hehehe... ~ Kononmata air sembilan bidadari ini diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Pemandian sembilan bidadari ini airnya tak pernah surut meski kamarau panjang. Berdasarkan cerita rakyat Kelurahan Airmadidi Bawah, konon lokasi ini merupakan lokasi tempat mandi sembilan bidadari yang turun dari kayangan ke bumi. - Saat membaca dongeng, sering kali kita menemukan tokoh seorang bidadari yang rupawan dan memiliki sifat baik hati. Sebenarnya, siapa para bidadari itu, ya? Lalu, apa perbedaan mereka dengan para malaikat? Yuk, kita ketahui asal usul para bidadari yang sering kita baca kisahnya dalam dongeng! Asal Usul Bidadari Bidadari awalnya muncul dalam keyakinan Hindu, lo. Disebutkan bahwa para bidadari adalah para perempuan muda yang tinggal di kayangan bersama para dewa. Mereka bertugas menyampaikan apa yang diperintahkan dewa pada manusia. Bidadari diceritakan memiliki kemampuan magis atau sihir. Ia digambarkan sebagai sosok rupawan dan periang. Selain itu, bidadari disebut memiliki sayap yang membantunya terbang dari kayangan ke bumi dan sebaliknya. Baca Juga Dongeng Anak Petualangan Oki Nirmala Misteri Hilangnya Liontin Ratu Bidadari Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Hariyang ditunggu Lahilote datang juga disatu pagi yang cerah setelah turun hujan, tujuh putri kayangan itu kembali datang ke telaga yang indah dengan air jernih itu, mereka sama-sama melepaskan pakaiannya dan masing-masing masuk ke dalam telaga dengan riang gembira sambil bersenda gurau, mereka berenang mengitaru telaga yang indah itu.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. “Dahulu,” kata Poniman, seorang kakek dari tiga orang cucu, memulai ceritanya di suatu senja di beranda rumahnya yang teduh dimana dirinya dikelilingi ketiga orang cucunya. “Dulu punya dulu sekali, ada sebuah negeri bernama Negeri Kayangan. Kenapa sampai disebut Negeri Kayangan, konon katanya, negeri itu kerap didatangi oleh bidadari-bidadari dari surga.”Poniram, cucu laki-lakinya yang paling tua, menyela, “Pasti negeri itu sangat indah sekali.”“Diam kau, Poniram,” bentak sang Kakek. “Biarkan dulu Kakek bercerita sampai habis. Setelah itu, kau dan saudara-saudaramu yang lain bisa bertanya pada-atau-menanggapi cerita Kakek.”“Betul itu, Kek,” Painem, cucu perempuanya yang tertua, kakak dari Poniram, menimpali. “Poniram selalu begitu, Kek, suka menyela di antara pembicaraan orang lain. Hei kau, Poniram, kebiasaanmu itu sangat buruk dan menjengkelkan. Kau tahu tidak, itu sangat tidak sopan!”“Kalian berdua sama saja, sama-sama tidak tahu sopan santun, selalu menyela pembicaraan orang yang lebih tua dari Kalian,” kata Poniman dengan kesal yang kedua matanya melotot seakan-akan ingin melompat keluar dari tempatnya. “Mau tidak Kakek lanjutkan ceritanya?”“Mau..mau, Kek,” sahut mereka serempak.“Kalau begitu,” ujar Poniman, “Kakek tidak mau mendengar ada yang bersuara sebelum Kakek ijinkan, paham Kalian?!” Poniram dan kedua saudaranya yang lain hanya menganggukkan kepala. Melihat hal itu, Poniman tersenyum bangga dan, dagunya sedikit dinaikkan ke atas, terlihat seperti orang yang baru saja menaklukkan segerombolan anak-anak anjing liar. “Oh ya, cerita Kakek tadi sampai dimana?” Poniman memegang dagunya yang sedikit memanjang dan hitam, tampak seperti seekor anjing hitam tua. “Kakek sudah ingat sekarang,” serunya dengan mata berbinar. “Di kala senja, Kalian tidak akan sulit untuk menjumpai pelangi meluncur turun dari lengkung langit ke danau yang airnya biru, bening, untuk membersihkan tubuhnya yang kotor agar warna-warni tubuhnya semakin bersih dan terang. Saking beningnya air danau itu, dasarnya dapat Kalian lihat dari permukaannya yang tinggi. Seringkali juga bidadari-bidadari turun dari Surga, mandi dan mencuci selendangnya. Bahkan beberapa rakyat Negeri Kayangan itu sempat mendengarkan pembicaraan di antara para bidadari-bidadari itu, katanya, Negeri Kayangan lebih indah dan cantik daripada Surga,”Poniman bercerita dengan penuh semangat membuat nafas tuanya terengah-engah. Ia mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan lagi, “Ketika malaikat-malaikat turun dari langit, dan telah melihat keindahan dan kecantikan alam Negeri Kayangan, juga rakyatnya yang ramah, para malaikat itu enggan untuk kembali naik ke langit. Ini juga, konon katanya, Negeri Kayangan lebih damai dan tenang daripada Surga.” Poniman bertutur dengan lancarnya. Sementara ketiga orang cucunya yang duduk di atas lantai bersila kaki dalam terpaan sinar lampu pijar, terlihat bagaikan sekumpulan anak-anak kelinci berbulu kuning keemasan, sangat menikmati dan terpesona. Poniram tampak bego dalam siraman sinar lampu pijar, bibir mulutnya membulat seperti seekor ikan koki atau ikan mas yang kepalanya menyembul di atas permukaan air kolam untuk menghirup udara cucu Poniman yang ketiga, adik dari Painem dan Poniram, yang sedari tadi hanya diam dan mengamati gerak bibir kakeknya yang bergerak tanpa henti, bagaikan paruh bebek jantan tua yang sedang menggoda bebek betina muda, berujar, “Kek,” panggilnya, “betapa indah dan damainya negeri itu. Kek, kita pindah saja ke Negeri Kayangan itu, aku sudah bosan tinggal di negeri ini. Di negeri ini sudah terlalu banyak preman-premannya—ada preman berdasi; ada juga preman hukum; bahkan mereka sesama preman itu sering berantem kayak anak kecil seperti yang sering Paijo lihat di televisi, Kek.” Paijo yang berumur tujuh tahun berujar polos.“Paijo..Paijo,” kata Poniram, “di mana ada negeri seindah dan sedamai Negeri Kayangan di jaman sekarang. Ada-ada saja pikiranmu itu. Kalau kau sudah mengantuk, pergi sana tidur. Mengganggu saja kau!”Terdengar dengus berat nafas Poniman melihat sikap kedua cucu lelakinya itu. “Kau, Poniram,” serunya,“tidak ada yang salah dengan pikiran Paijo. Dia hanya bermimpi, dan semua orang berhak untuk memiliki mimpi. Sepertinya, kau tidak mempunyai mimpi meskipun itu hanya di dalam tidurmu sekalipun. Bagaimana mungkin kau akan menjadi orang besar bila tidak memiliki mimpi?” Paijo merasa besar kepala ketika mendengar perkataan kakeknya yang membelanya, lalu dijulurkan lidahnya ke arah Poniram. Melihat ejekkan Paijo, ia mengepalkan tangan dengan geram. Sinar matanya yang awalnya hijau dalam terpaan cahaya lampu pijar yang redup dan muram, berubah menjadi merah, berkelebat dalam sinar yang redup dan muram itu, seakan-akan mata Poniram mengeluarkan darah atau api. “Kalian masih ingin mendengarkan cerita selanjutnya?” Ketiga bocah yang tampak seperti anak-anak kelinci berbulu kuning keemasan dalam cahaya lampu pijar yang tergantung di langit-langit rumah tepat di atas kepala meraka, menganggukkan kepala secara bersamaan.“Negeri Kayangan,” Poniman melanjutkan ceritanya, “seperti seorang gadis jelita yang kecantikkannya menggoda setiap mata lelaki yang memandangnya. Kekayaan alamnya tidak terkira. Tanahnya sangat subur—sampai-sampai ada pepatah berkata tongkat pun menjadi tanaman’; ikan-ikan dan udang dengan sendirinya datang menghampiri jaring nelayan.” Saking bersemangatnya Poniman bercerita, percikkan air ludahnya terbang di udara, berkilau dalam temaram lampu pijar 25 watt yang tergantung lesu di atas kepala mereka sebelum jatuh di atas kepala dan mengenai wajah ketiga cucunya, sebagiannya lagi jatuh ke atas lantai yang hanya dihaluskan tanpa keramik. “Kehidupan rakyat Negeri Kayangan serba berkecukupan—makanan ada tanpa kekurangan; pakaian yang mereka kenakan tidak menunjukkan kekayaan melimpah tetapi tidak juga terlalu menampakkan kemiskinan yang suram; rumah yang mereka miliki meski tidak terbuat dari batu bata merah, tapi setidaknya cukup memberi perlindungan dari hujan dan panas. Tak ada yang jadi pengemis seperti negeri ini yang penduduknya berkeliaran di jalan-jalan seperti anjing liar mengais di tempat sampah; rumah-rumah mereka terbuat dari kertas-kertas bekas atau dari karung plastik bekas seadaanya di bawah kolong-kolong jembatan, di pinggiran kali, di samping rel-rel kereta api.” Poniman berhenti sejenak sambil punggung tangannya mengelap buih-buih air ludahnya yang berkumpul di sudut bibirnya. “Jiwa-jiwa penduduk Negeri Kayangan begitu polos; pikiran mereka bersih jauh dari kelicikan dan keserakahan; penuh tenggang rasa—saling menghargai dan menghormati, saling membantu, sampai datangnya Raksasa-Raksasa Putih yang entah dari negeri mana mereka berasal, mengacaukan segalanya.” Poniman berhenti sejenak mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Karena tak sabar mendengar ceritan selanjutnya, ketiga cucunya berujar secara bersamaan tanpa memperdulikan Poniman, kakek mereka yang kesulitan bernafas, “Teruskan ceritanya, Kek!”Setelah merasa bahwa nafasnya sudah cukup teratur, Poniman melanjutkan ceritanya, “Untuk mengambil hati rakyat Negeri Kayangan, Raksasa-Raksasa Putih itu meracuni pikiran dan jiwa mereka. Raksasa-Raksasa Putih itu menggoda pikiran mereka dengan kekayaan yang melimpah; mempunyai rumah berdinding beton—bukan dinding dari anyaman bambu; mempunyai pakaian yang bagus dan mewah; memiliki sawah dan ladang yang luas; ternak-ternak yang berpuluh bahkan beratus ekor banyaknya.” Mata lelaki tua menatap ke langit-langit rumahnya, menerawang jauh sambil memeras otaknya untuk mengingat kelanjutan cerita itu. Sementara ketiga orang cucunya duduk dengan gelisah, tidak sabar menunggu kakek mereka melanjutkan cerita yang tampaknya semakin menarik di telinga mereka. “Ada beberapa rakyat Negeri Kayangan yang terpengaruh bujukan itu,” lanjut Poniman sambil memperbaiki letak duduknya, “tidak sedikit juga dari mereka yang tidak tergoda dengan bujukan itu. Mereka tidak mau termakan hasutan Raksasa-Raksasa Putih itu. Mereka yang tidak mengikuti rayuan itu, hidup seperti biasanya; bagi yang mengikutinya, memang pada awalnya terlihat begitu makmur hidupnya dengan harta yang melimpah. Namun, hidup mereka berakhir dengan kematian mereka yang sia-sia.” Poniman menyeka air matanya yang membasahi pipinya dengan jari-jarinya yang kulitnya tampak keriput dengan bintik-bintik hitam terlihat di beberapa titik, seolah matanya melihat sendiri kematian itu, lalu berkata, “Setelah tujuan dari Raksas-Raksasa Putih itu tercapai—menguasai Negeri Kayangan—mereka yang termakan bujuk rayu itu, dibunuh satu per satu.”“Sungguh licik Raksasa-Raksasa Putih itu!” ujar Paijo.“Bedebah!” Poniram ikut-ikutan mengumpat. “Kalau aku hidup pada saat itu, akan kubunuh Setan-Setan Putih itu!” Terdengar suara giginya bergeretak karena menahan amarahnya yang tertahan di dada.“Betul itu, Poniram!” Painem menimpali, ketus. “Aku sama denganmu. Kalau aku hidup di masa itu, akan kucincang-cincang tubuh Raksasa-Raksasa Putih itu, lalu potongan-potongan tubuh mereka, aku berikan pada anjing-anjing helder milik Ko Tek San, tetangga kita, sebagai santapan malam mereka.”Mendengar ucapan ketiga cucunya, Poniman terkekeh-kekeh sampai tubuh rentanya terguncang hebat. Melihat kakek mereka tertawa, ketiga cucunya menunjukkan wajah keheranan dan rasa ketidaksenangan. Mereka tampak seperti monyet-monyet kecil yang bulu-bulu hitamnya mengilat di bawah sinar lampu pijar—seolah bulu-bulu itu baru saja diolesi minyak makan bekas. “Hei, Kalian, monyet-monyet kecilku,” serunya, “Kakek yakin, ketika Kalian hidup pada saat itu, Kalian akan lari tunggang langgang bagaikan menjangan yang liar; atau Kalian meringkuk di bawah kolong tempat tidur seperti seekor tikus hitam yang ketakutan karena dikejar para pemburu.” Lalu, kakek renta itu kembali tertawa, yang kali ini suaranya lebih keras dari yang pertama, membuat seekor cicak yang menggantung di langit-langit rumah, yang seolah-olah keempat kakinya memiliki lem, mendongakkan kepalanya yang kecil, ujung ekornya pun terangkat menegang, menatap ke arah Poniman dengan penuh kebencian, hampir saja ia terjatuh karena terkejut. “Sudah...sudah, mendingan Kalian diam saja mendengarkan Kakek bercerita.” Tangan tuanya mengayun di udara seolah mengusir nyamuk-nyamuk yang berputar-putar di atas kepala mengeluarkan suara berdengung menjengkelkan. “Kalian masih mau kan mendengar kelanjutan ceritanya?” tanyanya, yang disambut anggukkan kepala ketiga monyet kecilnya.“Menyusul kedatangan Raksasa-Raksasa Putih itu, adalah Mahluk-Mahluk Pendek; mereka semua telah menguasai tanah Negeri Kayangan. Karena mental dan moral dari penduduk Negeri Kayangan sangat labil—mudah terpengaruh, dan serakah, maka seiring perjalanan waktu, ada beberapa dari mereka mendirikan kelompok penyamun—gemar merampok harta milik penduduk negeri, bahkan isi kekayaan alam Negeri Kayangan dikurasnya sampai habis; ada juga kelompok penjual keadilan—demi uang dan keserakahan mereka, kebenaran dapat ditukar dengan kesalahan.” “Dasar manusia-manusia rendahan!” Umpat Painem.“Orang-orang yang tidak bermoral dan bermartabat!” Maki poniram.“Seharus mereka itu dipancung kayak Ruyati itu,” ujar Paijo yang menimpali ucapan kedua kakaknya.“Betul itu, Cu!” sahut Poniman dengan mimik wajah serius dan menegang. Ada gurat-gurat kemarahan dan kebencian di garis wajahnya yang keriput. “Kakek sangat setuju bila manusia-manusia rendahan itu—orang-orang yang tidak bermoral dan bermartabat itu dipancung; setidaknya dihukum mati dengan cara ditembak; atau dibinasakan di atas kursi yang dialiri listrik yang bertegangan tinggi.” Untuk sesaat suasana menjadi hening. Di atas sana, di langit, bulan baru menunjukkan sepenggal wajahnya. Bintang-bintang yang duduk di sekitarnya menggoda dengan kerlap-kerlip cahayanya. Beberapa ekor kelelawar terbang rendah yang diiring nyanyian jangkrik di bawah rerumputan, dan katak yang duduk di atas teratai di sebuah kolam. Suara-suara mereka membentuk simfoni alam yang menyenangkan. Bau rerumputan yang menyegarkan naik ke udara, dalam tiupan angin malam yang dingin, aromanya sampai ke hidung mereka—Poniman dengan ketiga cucunya.“Lalu, bagaimana ceritanya selanjutnya, Kek?” tanya Painem dengan penasaran.“Iya, Kek, aku sudah tidak sabar ingin mengetahui akhir ceritanya,” Poniram menimpali. Sementara Paijo hanya memandang ke wajah kakeknya, dan menunggu reaksi orang tua itu yang uban di kepalanya berwarna kelabu dalam limpahan cahaya kuning keemasan lampu pijar. Poniman di dalam desakan kedua cucunya itu, hanya memainkan tongkatnya dengan cara diketuk-ketukkan ujung tongkat bawahnya ke lantai. Suara ketukkan tongkatnya mengundang seekor kucing yang warna kulitnya perpaduan antara warna kuning dan putih, datang menghampiri, dan duduk di dekat kursi Poniman. Itu Betsy, kucing kesayangannya. Nama Betsy diambil dari nama noni Belanda yang pernah menjadi pacar Poniman di masa pendudukan Jepang, sebelum ia bertemu dan menikah dengan Satiyem. Lalu, Poniman terkenang dengan masa-masa itu.************Dulu, Poniman terkenal sebagai jagoan di kampungnya. Ilmu silatnya sangat tinggi. Ia mahir memainkan golok. Suatu malam, di bawah sinar bulan bulat penuh, di dalam keheningan yang sunyi, ia menanngkap teriakan seorang perempuan yang meminta tolong. Suara itu datangnya dari arah tenggara dari tempatnya berdiri. Karena merasa sebagai seorang jagoan yang memiliki jiwa kesatria, Poniman bergegas berlari dalam bayangan kegelapan malam, menembus kabut-kabut tipis yang mulai naik dari permukaan tanah. Larinya secepat angin bertiup, melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Suara itu semakin keras terdengar, tepatnya menjerit. Namun, jeritan itu sangat memelas; memilukan bagi telinga Poniman. Ketika ia sampai di tempat di mana sumber jeritan itu berasal, dilihatnya seorang gadis berambut pirang terbaring di atas tanah dikelilingi lima orang lelaki yang berwajah garang dan menyeramkan. Dari wajahnya mereka dapat disimpulkan bahwa mereka segerombolan begundal. Dengan baju yang kancing-kancingnya telah terlepas dan bajunya yang tersingkap, memperlihatkan kulit tubuhnya yang putih dan mulus, dan juga payudaranya yang padat, gadis pirang itu dalam tindihan salah seorang para begundal itu, yang wajahnya ada bekas luka yang memanjang di pipi kiri di bawah matanya, tanpa daya. Melihat pemandangan yang tidak sepantasnya diterima seorang perempuan, darah Poniman mendidih, seolah-olah uap putih keluar dari pori-pori kulit dan kepalanya. “Hei, Kalian, manusia-manusia sampah, apa yang Kalian lakukan pada perempuan itu? Lepaskan dia bila Kalian masih menyayangi nyawa Kalian yang hanya setipis benang itu. Kalau Kalian tidak mau, maka akan kukirim nyawa Kalian ke Neraka!” serunya dengan lantang. Mendengar teriakan yang menggelegar bagaikan halilintar yang seolah-olah ingin merontokkan daun-daun dari dahannya, di belakang punggung mereka, para begundal itu membalikkan badan mereka. Melihat yang datang seorang pemuda bertubuh kurus dengan sebuah golok agak pendek yang terselip di pinggangnya, para begundal itu terbahak-bahak. “Kawan-kawan,” seru salah seorang begundal yang mulutnya bengkok pada teman-temannya, “kita kedatangan tamu. Kalian dengar apa yang barusan dikatakan pemuda kurus itu, dia akan mengirim nyawa-nyawa kita ke Neraka. Tapi, aku ragu apakah dia mampu melakukan hal itu. Lihatlah tubuhnya tidak lebih tebal dari selembar papan. Rasanya tidak baik bila kita tidak meladeni permintaanya. Jadi, tinggalkan dulu kegembiraan kita. Mari kita bermain-main sebentar dengannya.”Hawa kematian menggantung di udara di malam yang sunyi. Cahaya bulan bulat penuh membentuk enam bayangan-bayangan hitam yang bergerak-gerak di atas tanah. Poniman mencabut goloknya dari sarungnya yang terselip di pinggangnya. Kelima begundal itu melakukan hal yang sama. Golok dan pedang berkilau dalam terpaan sinar bulan. Dalam sekejap, golok dan pedang berkelebat di udara yang dingin. Suara benturan dari golok dan pedang itu menimbulkan suara yang berdenting. Dentingannya sangat nyaring, seolah memberi kabar pada langit tentang kematian yang sebentar lagi akan terjadi. Beberapa ekor katak melompat menjauh dari tempat pertempuran itu, sementara keenam tubuh terlihat seperti bayangan hitam, melesat di udara malam. Tak jauh dari tempat pertempuran, gadis pirang itu duduk di atas kedua kakinya yang ditekuk. Ia menutupi tubuhnya seadaanya, dengan menyilangkan kedua tangannya di dadanya, karena semua kancing-kancing bajunya telah terlepas. Hanya dalam beberapa jurus, kelima begundal itu bertumbangan di atas tanah; satu di antara begundal itu, dadanya robek; yang satunya lagi,perutnya terburai; lainnya kepalanya hampir terpisah dari badannya; sisanya, seluruh tubuhnya penuh sabetan golok. Awalnya tempat pertempuran itu hijau dengan rumput-rumput, kini berubah merah. Genangan darah kental terlihat berceceran di atas rumput-rumput di berbagi titik. Gadis pirang itu menyaksikan pertempuran dari kejauhan, terkesimak dengan kehebatan Poniman. Dalam benak gadis pirang itu berpikir, entah bagaimana jadinya dengan dirinya bila tanpa Poniman. Gadis itu berdiri, melangkah menghampiri Poniman yang tampak gagah di bawah sinar bulan, tangannya terulur yang disambut oleh Poniman, dan berucap, “Terima kasih atas pertolongannya. Bila tanpa bantuanmu, entah apa yang terjadi pada diriku.” Tangan gadis pirang itu bergetar dalarm genggaman tangan Poniman. Kepalanya tertunduk ketika mata elang Poniman menghujam wajahnya, menatap tajam ke mata gadis pirang itu. Dengan masih kepala tertunduk, ia berujar, “Aku, Betsy. Kamu?” “Poniman.” Sejak peristiwa yang mengerikan dan memalukan di malam itu, Betsy dan Poniman sering bertemu. Kedua insan itu saling mengagumi satu sama lain. Getar-getar nada cinta mulai mengalun di hati dan jiwa mereka. Benih cinta mereka pupuk dengan segala perbedaan yang ada di antara mereka. Bau busuk dari jejak-jejak hubungan mereka di dalam perbedaan, aromanya bergulung-gulung di udara dan, angin mengantarkan pada hidung ayah Betsy. Mengetahui anak gadisnya berhubungan dengan jagoan kampung, pribumi yang rendahan, membuat ayah Betsy berang bukan main. Wajahnya memerah bagaikan panggangan daging yang baru keluar tempat pemanggangan. Untuk menghentikan dan memutuskan benang merah dari hubungan yang terlarang yang telah merendahkan derajatnya sebagai orang Nederland, ayah Betsy akan memulangkan anak gadisnya ke Negeri sudah beberapa malam Betsy tidak pernah lagi datang di tempat di mana mereka biasa bertemu, membuat Poniman ingin mengetahui penyebabnya. Dengan tekad sekeras baja, dan semangat semerah bara, di bawah cahaya temaram bulan berwarna kuning keemasan dalam balutan kabut tipis yang menguap dari permukaan tanah, Poniman mengendap-endap di antara bunga-bunga yang daunnya basah oleh embun malam, tampak seperti seekor monyet hitam berbulu hitam pekat; kalau bukan seekor monyet, pastilah seekor simpanse Afrika; dan kalau bukan seekor simpanse Afrika paling tidak seekor orang utan Kalimantan. Poniman mendekati jendela kamar Betsy bertirai satin China dengan ukiran rumit, yang malam ini jendela itu dibiarkan terbuka sehingga angin dingin di bulan Agustus menelusup masuk ke dalam kamar Betsy. Hawa dingin dan bau rerumputan yang menyegarkan segera memenuhi ruangan itu. Di bawah jendela kamar Betsy, dan masih sama seperti seekor monyet yang ketakutan, Poniman menyeru, “Betsy!” panggilnya. Suaranya terdengar berdesir. Karena yang dipanggilnya belum juga datang, sekali lagi ia berseru dengan suara yang gemetar, “Betsy!” serunya. “Ini aku, Poniman!” Mendengar namanya dipanggil oleh suara dari orang yang dirindukan, yang terdengar di telinganya seperti dengungan kepak sayap seekor nyamuk, Betsy segera menghampiri jendela kamarnya yang terbuka. Di bawah jendela itu, dilihatnya wajahnya Poniman yang mendongak ke atas, serupa orang utan Kalimantan di bawah cahaya bulan yang bercampur dengan sinar lampu dari kamarnya. Poniman melompat-lompat layaknya seekor anak orang utan dengan tangannya bergerak-gerak ke atas di udara yang dingin. “Betsy,” seru Poniman dari bawah jendela kamar Betsy. “Sudah beberapa malam ini aku menunggu kedatanganmu di tempat biasa kita bertemu, tapi kau tak juga datang. Ada apa dengan dirimu?”“Hubungan kita telah diketahui Ayahku,” ujarnya. “Makanya aku dilarang keluar, dan dikurung di dalam kamar.”“Kau kan bisa keluar dengan menggunakan tangga.”“Aku takut!”“Takut pada apa? Pada siapa?”“Takut pada ancaman Ayahku. Ayahku mengancam, bila aku masih berhubungan denganmu, maka Ayahku akan menyuruh orang-orang suruhannya untuk membunuhmu. Aku tidak ingin kau mati, Poniman!” Kata Betsy dengan terisak. Air matanya berlinang bagaikan pancuran air yang mengalir deras ke bawah, dan jatuh ke sungai atau kolam.“Tidak ada yang mampu menyentuh kulitku. Apalagi sampai merontokkan sehelai bulu dari tubuhku.” Ujar Poniman dengan membusungkan dadanya yang setipis papan. “Aku tahu kau hebat, Poniman, ” kata Betsy, “namun, aku tetap tidak ingin ada sesuatu menimpamu atau menimpa orang lain. Aku tahu, cinta itu butuh pengorbanan, tapi bukan berarti harus menjadi korban yang sia-sia dari cinta itu sendiri.” Suara Betsy terdengar parau di antara isaknya. Rambut panjang pirangnya melambai-lambai dalam terpaan angin malam. “Lupakan aku, Poniman.”“Apa?” sahut Poniman. “Melupakanmu? Tidak! Itu tidak akan aku lakukan.”“Kenapa?”“Aku mencintaimu!”“Poniman,” ujar Betsy lembut. Kini suaranya sedikit kembali normal, tangisnya pun mulai mereda. “Dapatkah kau menyatukan dua hati yang terpisah jarak ribuan mil jauhnya dengan segala perbedaan yang menghiasi? Dengarkan aku, malam ini adalah malam terakhir aku berada di sini. Besok pagi aku akan pulang ke Belanda. Ayahku memulangkan aku, dan akan menikahkan aku dengan seorang pria Belanda di sana.” Saat mengucapkan kata-kata itu, gelombang perasaan yang bercampur aduk memenuhi hatinya. Apakah ia harus senang atau sedih? Entahlah. Mendengar ucapan Betsy, kekasihnya, Poniman tertegun lemas dalam diam di bawah terpaan cahaya bulan. Angin dingin bertiup memainkan daun-daun dan rerumputan. Perasaannya seolah-olah dipermainkan angin dingin di malam itu. Sungguh kejam sebuah perbedaan. Betapa mahalnya sebuah derajat. Apakah cinta harus diukur dengan kesamaan dan derajat?, pikirnya. Kabut-kabut tipis melayang-layang di udara dingin. Jangkrik dan katak berlomba memamerkan kemerduan suara mereka dalam sebuah simfoni malam. Ilalang dan daun-daun bergoyang mengikuti irama simfoni itu. Sementara cahaya kekuningan bulan menari-nari dalam kabut. Poniman berjalan goyah menembus kabut yang sedikit mulai menebal. Ia pulang sama seperti ketika ia datang. Ia mengendap-endap bagaikan anak kelinci yang mencoba mencuri wortel petani. Yang tampak beda hanya pada langkahnya. Saat melangkah pulang, langkahnya terlihat gontai bagaikan batang-batang pohon willow yang dimainkan angin. Dalam kepedihan yang mendalam, Poniman berjalan meninggalkan Betsy yang masih berdiri di balik jendela kamarnya. Wajahnya yang cantik berkilau dalam terpaan cahaya bulan yang tergantung lesu di langit seakan mengerti perasaan kedua insan itu. Sampai sebuah tepukan halus pada lututnya mengangetkan Poniman dari lamunannya. “Kek,” seru Paijo, “bagaiamana cerita selanjutnya?” Dengan gelegapan Poniman memperbaiki letak duduknya, dan menyapu air mata di sudut mata tuanya dengan punggung tangannya yang keriput.************“Kelompok-kelompok penyamun, kelompok-kelompok penjual keadilan bersama sekelompok orang yang memiliki hati bersih,” Poniman melanjutkan cerita setelah tersadar dari lamunannya, “pada awalnya mereka bahu membahu mengusir Raksasa-Raksasa Putih dan Mahluk-Mahluk Pendek. Mula-mulanya, Raksasa-Raksasa Putih berhasil mereka kalahkan—meski belum berhasil mereka usir keluar dari Negeri Kayangan. Dengan masih adanya Raksasa-Raksasa Putih di Negeri Kayangan, tiba-tiba Mahluk-Mahluk Pendek datang dengan alasan sebagai negeri tetangga—bahkan mengaku sebagai saudara tua Negeri Kayangan, ingin membantu mengusir Raksasa-Raksasa Putih itu agar secepatnya keluar dari Negeri Kayangan.” Poniman berhenti sejenak. Matanya menyapu wajah ketiga orang cucunya dengan tatapan teduhnya, garis-garis ketegangan tampak di wajah mereka dengan bola mata mereka melompat-lompat di tempatnya. Kini, wajah ketiga orang cucunya, mirip dengan monyet-monyet sirkus. “Kehadiran Mahluk-Mahluk Pendek bukannya membantu malah menambah penderitaan rakyat Negeri Kayangan. Hanya dalam waktu yang singkat, Mahluk-Mahluk Pendek meninggalkan penderitaan yang sulit terlupakan—bahkan dalam tujuh turunan pun masih membekas di kulit jiwa rakyat Negeri Kayangan.” Nada suara Poniman terdengar mengecil ketika mengucapkan kalimat terakhir. Ada irama kesedihan menggantung di sana. Ia teringat sebuah peristiwa yang dengan mata elangnya menyaksikan sendiri kejadian itu. Seorang perempuan muda dipaksa menjadi wanita pemuas nafsu bagi serdadu-serdadu Mahluk-Mahluk Pendek. Perempuan muda diambil dengan paksa dari pelukkan ibunya; diseret dan dinaikkan ke atas kendaraan yang bau kematian menguap dari bak yang terbuat dari kayu-kayu yang diberi warna hijau lumut. Bahkan mungkin air mata dan lendir dari perempuan-perempuan muda lainnya yang pernah diangkutnya, masih membekas pada bak kayu kendaraan itu.“Sungguh kejam Mahluk-Mahluk Pendek itu!” ujar dengan ucapan Painem, “Apa mereka tidak punya saudara perempuan? Bagaimana perasaannya bila saudara perempuan dibuat seperti itu?”“Dasar Setan-Setan Pendek! Awas Kalian, bila aku berjumpa Kalian, akan kubunuh Kalian semua!” sahut Poniram geram. Poniman menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap dan ulah ketiga orang cucunya. “Sudah..sudah! Hentikan ocehan Kalian! Lebih baik Kalian dengar lanjutan ceritanya.”“Masa-masa sulit itu berlalu begitu pelan,” kata Poniman. “Banyak air mata mengalir dari mata yang sudah lama mati. Bila ada mata yang berkedip lincah—itu kedipan mata yang kemasukkan debu—bukan karena senang dan gembira. Kepedihan menyebar ke mana-mana. Bau kematian menggantung di setiap halaman rumah rakyat Negeri Kayangan. Tangis bayi terdengar bukan lagi sebagai tangisan, tapi lolongan anjing-anjing malam. Bahkan matahari pun enggan untuk duduk di atas puncak gunung-gunung dan bukit-bukit yang hijau di Negeri Kayangan.” Untuk kesekian kalinya Poniman harus berhenti sejenak untuk mengatur irama nafas tuanya yang terengah-engah. “Sampai pada di suatu kesempatan di mana perjuangan terus berlanjut untuk membebaskan Negeri Kayangan dari cengkeraman Raksasa-Raksasa Putih dan Mahluk-Mahluk Pendek, seorang pemuda yang tegas dan teguh pada prinsipnya dari sekelompok pemuda yang berjuang tanpa henti, mengumumkan kebebasan Negeri Kayangan dari cengkeraman Mahluk-Mahluk Pendek setelah di negeri mereka terjadi bencana kemanusiaan yang akan selalu diingat oleh setiap generasi bangsa itu.”“Sungguh hebat pemuda itu, Kek!” ujar Paijo. “Aku pengen seperti pemuda itu, kelak ketika aku besar nanti.”“Jo...Jo,” sahut Poniram. “Kau mimpi atau melindur? Baca saja masih terbata-bata, sudah bermimpi jadi orang hebat. Sana, berkaca, lihat wajahmu apa pantas jadi orang hebat. Dasar monyet hutan!” Painem yang duduk tak jauh dari kedua adiknya hanya diam. Ia tenggelam dalam khayalannya. Menjadi istri seorang pemuda hebat, pasti sangat menyenangkan. Pasti si Sakiyem, si Darsim, si Sarinem; atau teman-teman lainnya iri melihat aku, pikirnya. “Hei, Poniram!” seru Poniman, “Kakek pikir, ada yang salah dengan otakmu. Tahukah kau, dari mimpi seseorang baru bisa menjadi besar dan hebat. Paijo memiliki mimpi; mimpi itu kelak membawa Paijo menjadi orang hebat, tidak seperti kau, yang otakmu seperti otak keledai. Parahnya lagi kau tidak punya mimpi sedikitpun. Jadi, yang monyet hutan itu, kau, bukan Paijo.” Tanpa memperdulikan wajah Poniram yang memerah dan tertunduk lesu dan menggantung di atas dadanya, Poniman melanjutkan ceritanya yang sempat terputus oleh ulah dua monyet sirkus kecilnya, yang lebih mirip anak-anak kelinci berkulit kuning keemasan di bawah sinar lampu pijar. “Setelah kebebasan yang dialami Negeri Kayangan, rakyatnya merasa gembira. Mereka tidak perlu takut lagi pada Raksasa-Raksasa Putih dan Mahluk-Mahluk Pendek yang lebih mirip seperti setan-setan pendek berkulit bersih. Si Pemuda Pemberani itu bersama seorang kawannya diangkat menjadi pemimpin oleh teman-temannya yang lain. Meski sudah bebas dan dipimpim oleh seseorang yang hebat, bencana dan penderitaan rakyat Negeri Kayangan tidak berhenti sampai di situ.”“Kog bisa, Kek?” kata Paijo, “kan sudah bebas, masa masih menderita lagi sih, Kek?” “Makanya kau dengarkan dulu cerita Kakek,” jawab Poniman. “Bencana ini tidak ada bedanya dengan pada masa Negeri Kayangan dikuasai Raksasa-Raksasa Putih dan Mahluk-Mahluk Pendek. Bedanya, kalau dulu orang-orang dari luar Negeri Kayangan yang membuat mereka menderita, tapi kini, orang-orang Negeri Kayangan sendiri yang membuat rakyat negeri itu menderita. Keadaan makin parah ketika si Naga Hitam, pemimpin Kelompok Penyamun, merampas kekuasaan dari si Pemuda Pemberani.” Poniman memperbaiki lagi letak duduknya. Tongkat di tangan kanannya di ketuk-ketukan lagi ke lantai. Betsy menghampirinya dan mengelus-elus tubuhnya di kaki Poniman. “Naga Hitam menjadikan dirinya penguasa langit dan bumi Negeri Kayangan. Tidak ada yang luput dari pengamatan matanya. Sungutnya menjadi peringatan bagi orang-orang yang mencoba melawan dan menentangnya. Bila ada orang yang masih nekad melawan dan menentangnya, maka orang itu akan mati dalam semburan api yang keluar dari mulutnya yang serupa nereka kehidupan. Naga Hitam memiliki beberapa orang anak; Naga Merah—penghisap darah penduduk Negeri Kayangan; Naga Kuning—suka memotong kaki penduduk; Naga Hijau—hampir semua hutan dikuasainya; Naga Biru—laut dan segenap isinya dalam kekuasaannya; lalu, ada Naga Coklat, dan terakhir Naga Abu-abu. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Naga Hitam mempunyai pengikuti setia; ada Kelinci Putih; Macam Berkulit Badak; Kambing—ini hanya tahu me-ngebe; Sapi Bego—kegemarannya suka kentut. Setelah mengeluarkan kentut yang bau, dia berlalu begitu saja; Kerbau Tolol; yang paling banyak Tikus-Tikus Hitam—yang ini sering main di selokan yang bau dan kotor—tersebar di hampiri seluruh wilayah Negeri Kayangan.”“Kog, anak dan pengikutnya nama binatang semua, Kek?” tanya Paijo dengan keheranan. Wajahnya berkilau dalam terpaan sinar lampu pijar, tampak seperti seekor anak ayam yang baru menetas, dan keluar dari cangkang telurnya.“Karena mereka semua takada bedanya dengan binatang,” sahut Poniman dengan kegeramannya. Keriput wajahnya menegang. Urat-urat di wajahnya tampak menonjol. Di bawah cahaya bulan yang mulai menyelimuti bumi, dan sebagian cahayanya masuk ke beranda rumah Poniman, dalam siraman cahaya bulan itu, wajah Poniman tampak seperti seekor Harimau Sumatera. Bibir dan lehernya berkedut. Matanya menyala merah seolah bara api menyala di dalamnya. “Mereka semua sudah tidak punya nurani lagi. Hampir semua kekayaan alam Negeri Kayangan menjadi milik keluarga dan teman-temannya, juga pengikutnya. Mereka semua seolah-olah tidur di atas tumpukan uang. Sementara rakyat Negeri Kayangan miskin dan menderita. Bagi yang miskin, hidup di Negeri Kayangan bagaikan bernafas dalam lumpur. Di Negeri Kayangan, hidup dan mati tak bedanya bagi mereka yang tidak mempunyai uang. Tetapi, bagi mereka yang memiliki uang melimpah, Negeri Kayangan adalah surganya surga.” “Betapa rakusnya si Naga Hitam itu, Kek?” kata Poniram, yang kali ini berucap dengan sedikit lebih sejuk terdengar di telingan Poniman. “Si miskin tambah miskin; yang kaya tambah membunting perutnya,” kata Painem.“Kalian tahu tidak,” seru Poniman yang disambut dengan gelengan kepala ketiga orang cucunya secara bersamaan dengan mimik wajah terlihat tolol. “Sejak Naga Hitam berkuasa memang pembangunan terjadi di mana-mana, namun, itu tidak memberi arti yang banyak bagi rakyat Negeri Kayangan. Harga beras lebih mahal dari mutiara; harga sayur mayur lebih mahal dari emas; harga minyak bakar lebih mahal dari berlian; dan pendidikan hanya bisa terjangkau oleh anak-anak orang yang memiliki uang, yang tidak memiliki uang, mereka cukup berdiri di luar pagar sekolah.”“Seperti yang terjadi pada Sukinem, sahabatku,” kata Painem, menyela di tengah cerita yang mengalir semakin menarik di telinga ketiga cucu Poniman, “ia tidak dapat bersekolah karena orang tuanya hanya petani miskin. Dan, kini ibunya, kata orang, menjadi anjing di negeri tetangga. Aku tidak mengerti dengan kata-kata itu. Makanya aku benci dengan pemimpin negeri ini, kerjanya cuma korupsi saja. Kasihan si Sukinem!”“Persis seperti yang menimpa Parno,” ujar Poniram. “Awalnya dia bersekolah juga, karena ayahnya seorang pemulung, dan tidak bisa lagi membiayai sekolahnya, akhirnya Parno berhenti bersekolah, yang kini ikiu-ikutan ayahnya menjadi pemulung. Negeri ini seperti nereka bagi orang-orang miskin.” Paijo yang masih belum terlalu mengerti hanya diam saja. Memandang kakak-kakaknya dan kakeknya silih berganti.“Bagi pemerintah Naga Hitam, dan mungkin bagi pemerinta-pemerinta selanjutnya,” Poniman mulai lagi melanjutkan ceritanya, “mengirimkan rakyat Negeri Kayangan ke negeri tetangga atau negeri yang lebih jauh lagi—yang di sana mereka tak ubahnya seperti anjing-anjing liar mengais di sampah-sampah—menjadi kebanggaan yang mengharumkan. Akhirnya Negeri Kayangan terkenal dengan sebutan pengekspor manusia. Ini sangat menyedihkan, di mana negeri yang diberkahi kelimpahan kekayaan alam, rakyatnya menjadi sampah di negeri orang.” Kali ini nafas Poniman tersengal-sengal bukan karena ia kehabisan nafas, tapi lebih disebabkan oleh amarahnya yang tertahan. Bulan bulat penuh, kini tidak lagi di sisi timur lengkung langit, tetapi mulai ada di atas kepala. Cahaya kuning keemasannya mulai membentuk bayang-bayang hitam tegak lurus dari pohon-pohon dalam limpahan cahayanya. Bau tanah yang basah setelah sore tadi hujan mengguyurnya, menyeruak naik dan bergulung-gulung di udara, dan bercampur dengan aroma rumput yang segar melayang-layang dalam tiupan angin malam dan memasuki rumah setiap penduduk melewati ventilasi rumah. “Kek,” panggil Paijo. “Ceritanya masih panjang? Aku sudah ngantuk nih!”“Kalau kau sudah mengantuk, pergilah tidur.”“Aku tidak akan pergi tidur, bila akhir ceritanya tidak aku ketahui, Kek,” kata Paijo. “Cerita Kakek sangat menarik, meskipun aku masih kecil dan belum banyak yang aku ketahui, tetapi cerita Kakek sangat menggugah rasa keinginan tahuku.”Poniman menatap wajah Paijo dengan penuh kebanggaan. Ia bangga pada kecerdasan cucunya yang satu ini. Tidak seperti Poniram yang otaknya entah terletak di mana—masih di kepala atau sudah turun di ujung mata kakinya. “Sampai di suatu ketika, mulanya di picu oleh rasa ketidak puasan oleh rakyat Negeri Kayangan terhadap kepemimpinan Naga Hitam; karena korupsi terjadi di mana-mana; harga-harga lebih gila lagi dari sebelumnya, melambung setinggi langit; praktek-praktek keadilan semakin kehilangan jejak kebenarannya, pergolakan sosial terjadi di hampir seluruh wilayah Negeri Kayangan. Pergolakan itu berhasil menurunkan Naga Hitam dari singgasananya. Dan, diganti oleh anak-anak didiknya’. Sejak turunnya Naga Hitam dari panggung kekuasaannya yang mengantarkan dirinya sebagai salah seorang pemilik kekayaan terbanyak di jagat ini, hanya ada beberapa pemerintahan yang bukan dari didikannya; selebihnya adalah penerus’ kekaisarannya. Meski selama berkuasa, Naga Hitam banyak melakukan kesalahan dan pelanggaran, tapi tidak satu huruf dari kitab hukum menyentuh ujung ubannya.” “Wow...sungguh saktinya si Naga Hitam itu, Kek?” kata Poniram. “Jangan-jangan Tuhan pun takut untuk menghukumnya.”Terdengar tawa yang mengerikan dari mulut Poniman; dan itu menakutkan ketiga orang cucunya. Daun telinga ketiga anak-anak keledai itu terangkat dan menegang; lehernya sedikit meninggi; pantatnya sedikit terangkat dari lantai—bersiap-siap untuk lari. “Apa katamu, Poniram?” serunya keras, “Tuhan takut, katamu! Sekarang, si Naga Hitam entah berada di mana, apa dia telah naik ke langit dan masuk ke dalam taman yang hijau; atau dia masih di bawah tanah di makan belatung-belatung jahanam, dan masuk ke api yang membakar hingga tak satu pun yang tersisa dari tubuhnya, kecuali kentutnya yang bau.” Lalu, kembali tawa yang menyeringai terdengar dari mulutnya yang tua. Kali ini ketiga orang cucunya, yang kali ini serupa anak-anak kucing dalam temaram sinar lampu pijar, saling mendekatkan diri. Tangan-tangan mereka mirip dengan ekor anak-anak kucing yang saling mengikat. Tubuh ketiganya gemetaran dalam hawa yang memang dingin, tapi bukan itu penyebabnya. “Sekarang Kakek lanjutkan lagi ceritanya.”“Setelah Naga hitam tak lagi berkuasa,” kata Poniman dengan tenang. “Banyak di antara anak didiknya’ dan pengikutnya saling bersikut satu sama lain. Ada beberapa orang anak didik’ Naga Hitam menjadi penguasa Negeri Kayangan. Salah seorang darinya, tampak seperti pesolek. Hampir di tiap pagi, dia menghiasi dirinya agar terlihat menawan di mata rakyat Negeri Kayangan. Pipinya dibedakin dengan pupur putih agar bercak-bercak panu tidak terlihat di wajahnya. Entah apa yang dikenakan tubuhnya, kemeja, jas dan celana atau daster. Yang pasti dia selalu tampil untuk hal-hal yang kecil. Untuk hal-hal yang besar, dia menghilang entah ke mana.”“Dasar manusia pengecut!” umpat Poniram, yang mulutnya kembali kumat. Entah setan dan malaikat mana yang merasuki otaknya; kadang-kadang ia berucap dengan umpatan yang kasar pada satu waktu. Umpatan yang hanya dapat dilakukan oleh setan. Dan, kemudian ia dapat bertutur selembut kapas yang kata-katanya hanya biasa diucapkan seorang malaikat pada saat berikutnya. “Pada awalnya,” kata Poniman lagi, “rakyat Negeri Kayangan begitu terkesan dan percaya padanya. Di depan rakyat Negeri Kayangan, dia sering berjanji akan memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Memang benar ada beberapa pejabat Negeri Kayangan dijebloskan di balik jeruji, tapi itu hanya pejabat yang tak penting dimatanya. Yang ditangkap tidak sebanding dengan yang melakukan korupsi. Bahkan ada beberapa bawahannya melakukan korupsi tanpa malu-malu lagi. Kakek rasa, pejabat di Negeri Kayangan watak dan prilakunya sama seperti pejabat negeri kita ini. Mereka sudah tidak mempunyai rasa malu, yang mereka hanya kemaluan mereka masing-masing yang dibawanya ke mana-mana.”“Betul itu, Kek!” Poniram kembali menyela. “Seperti yang sering aku lihat di televisi, pejabat negeri kita pistol di bawah pusarnya sering salah tembak. Seharusnya pistolnya menembak daun tua di rumahnya, eh, malah menembak daun muda di hotel-hotel. Yang lebih lucu lagi, ada pejabat kita di saat sidang sedang asyik menonton film—“ kata-kata Poniram tergantung di udara. Tangannya sibuk menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Tiba-tiba, di saat tangannya masih berada di atas kepalanya, seekor cicak yang tepat menggantung di atas kepalanya mengirimkan sesuatu yang berasal dari tubuhnya, dan mengenai kepala Poniram tepat ketika tangannya sedang menggaruk-garuk kepalanya. Dan, sesuatu yang berasal dari tubuh cicak itu mengenai tangannya. Lalu, Poniram menurunkan tangannya dan mendekatkan ke hidungnya. “Dasar binatang tak punya mata! Mau buang hajat tidak lihat-lihat.”“Tidak Negeri Kayangan, tidak negeri kita, semua sama ya, Kek,” kata Painem. “Moral pejabatnya sama bejatnya.”“Apa Negeri Kayangan masih ada, Kek?” tanya Paijo dengan kepolosan kanak-kanaknya. “Kalau masih, di mana Negeri Kayangan itu sebenarnya berada, Kek?”“Negeri Kayangan itu masih ada, Jo,” sahut Poniman. “Letaknya tak jauh dari kita berada sekarang.”“Di mana, Kek?” kejar Paijo. “Di sini, di Indonesia.”“Hah...,” Ketiga anak-anak keledai itu berseru dan tercengang secara bersamaan. Mulut dan mata mereka membesar. Tiba-tiba seekor nyamuk terbang dengan tergesa-gesa, dan berakhir di dalam mulut Paijo, yang membuat bocah lugu itu terbatuk-batuk. Di luar sana, suasana mulai tampak sepi. Satu per satu, orang-orang mulai menyembunyikan diri di bawah selimut. Bulan bulat penuh tidak lagi duduk tepat di atas kepala. Sekarang mulai bergeser sedikit ke aras barat. Poniram menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursinya. Matanya terpejam. Entah apa yang dipikirkan dan dimimpikan lelaki tua itu. Mungkin Betsy, kekasihnya dulu. Atau mungkin ia bermimpi telah berada di Negeri Kayangan yang sesungguhnya. Sementara ketiga anak-anak keledai itu berdiri, menatap sejenak wajah kakeknya, kemudian berlalu meninggalkan Poniman seorang diri dengan segala mimpi tuanya, yang serupa kekelaman malam yang beranjak semakin tua.************ Lihat Puisi Selengkapnya

BidadariTurun Dari Kayangan फेसबुकमा छ । Join Facebook to connect with Bidadari Turun Dari Kayangan and others you may know

Pada posting sebelumnya kami pernah menerbitkan dongeng Cerita Jaka Tarub dan 7 bidadari. Pada posting kali ini kami menerbitkan ringkasan dari cerita rakyat tersebut. Legenda rakyat ini sangat populer di masyarakat sehingga sudah di terbitkan menjadi beberapa bentuk media seperti film, drama, theater dan lain lain. Adik-adik yang masih sekolah bisa memainkan cerita ini untuk pentas seni nanti yah. Selamat membaca. Ringkasan Cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari Beserta Pesan Moralnya Tidak menunggu lama yuk kita baca kisah ini secara lengkap Tujuh Bidadari Pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda yang bernama Jaka Tarub. Jaka Tarub tinggal sendirian di sebuah rumah di pinggir hutan. Sehari-hari, ia menghabiskan waktunya dengan memancing. Hasil pancingannya itu dijual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan ibunya. “Ah, lebih baik aku memancing di sungai dalam hutan. Pasti ikan di sana lebih banyak, karena tak ada yang mau memancing di sana,” ucap Jaka Tarub. Jaka Tarub pun langsung menuju ke hutan. Benar raja, hutan sangat sepi. Hanya ada binarang di sana. Tanpa membuang waktu, Jaka Tarub langsung melempar kailnya. Tiba-tiba, Jaka Tarub dikejutkan dengan tujuh warna yang melengkung di langit. Warna-warna itu mendarat di ujung sungai tempatnya memancing. Karena penasaran, Jaka Tarub mengejar tujuh warna itu. “Warna apa itu? Sangat indah.” decak Jaka Tarub, merasa kagum. Olala, betapa terkejutnya Jaka Tarub. Di ujung tujuh warna itu, ada tujuh wanita cantik yang sedang bermain air di sungai. Aroma mereka sangat wangi. Ya! Mereka adalah tujuh bidadari dari kayangan. Jaka Tarub pun memperhatikan ketujuh bidadari itu dari semak-semak, agar mereka tak melihatnya. “Cantik sekali mereka. Andai aku bisa menikah dengan salah satu dari mereka,” gumam Jaka Tarub. Aha! Jaka Tarub mempunyai ide. Dengan perlahan, Jaka Tarub mendekat ke sungai. Ia mengambil salah satu selendang milik bidadari. Kemudian, ia menyimpan selendang itu di batik bajunya. Hari semakin sore. Tampaknya Para bidadari sudah lelah bermain air. “Sudah sore, saudariku. Kita harus kembali ke kayangan,” ucap bidadari tertua. Mereka pun bersiap untuk kembali terbang ke kayangan. Namun,salah satu bidadari tampak kebingungan. Ia mencari sesuatu. “Selendangku hilang, saudariku. Aku tak mungkin bisa kembali ke kayangan tanpa selendangku. Selendang itulah yang bisa membuat kita terbang,” ujar bidadari yang kehilangan selendangnya. Ia tampak panik. “Kita tak mungkin menunggu di sini. Pasti Ayahanda mencari kita,” sahut bidadari yang lain. Akhirnya, keenam bidadari meninggalkan bidadari yang selendangnya hilang seorang diri. Bidadari itu sekarang sendirian. Ia terlihat sangat sedih. Jaka Tarub pun mendekati bidadari itu. “Wahai, gadis. Siapakah namamu? Mengapa engkau bersedih?” tanya Jaka Tarub. “Namaku Nawang Wulan. Aku bersedih, karena tak bisa kembali ke rumahku di kayangan,” jawab Nawang Wulan. “Apakah kau seorang bidadari?” tanya Jaka Tarub lagi. Nawang Wulan mengangguk. Jaka Tarub pun mengajak Nawang Wulan ke rumahnya. Karena tak tahu lagi harus tinggal di mana, Nawang Wulan menerima ajakan Jaka Tarub. Jaka Tarub dan Nawang Wulan Menikah Jaka Tarub dan Nawang Wulan akhirnya menikah. Mereka hidup dengan bahagia. Jaka Tarub bekerja di sawah, sedangkan Nawang Wulan mengurus rumah. Bertahun-tahun hidup berkeluarga, ada satu hal yang membuat Jaka Tarub merasa heran. Padi di lumbung tak pernah habis. Padahal, setiap hari padi dimasak. Suatu pagi, ketika Jaka Tarub hendak pergi bekerja, ia bertanya kepada Nawang Wulan. “Istriku, aku heran. Mengapa padi di lurnbung kita selalu banyak? Padahal, setiap hari kita memasaknya,” tanya Jaka Tarub. Nawang Wulan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Tentu saja Jaka Tarub menjadi semakin penasaran. Pada suatu pagi yang cerah, Nawang Wulan hendak pergi ke sungai. “Aku hendak mencuci baju. Jangan sekali kali membuka tudung masakanku,” pesan Nawang Wulan kepada Jaka Tarub. Tapi, Jaka Tarub justru menjadi penasaran. Begitu Nawang Wulan pergi ke sungai, diam-diam ia membuka tudung masakan istrinya, Jaka Tarub terkejut. Hanya ada segenggam padi di dalamnya. Pantas saja padi di lumbung tak kunjung habis. Jaka Tarub Melanggar Janji Tak selang berapa lama, Nawang Wulan kembali. Ia bergegas melihat nasi yang dimasaknya. Nawang Wulan tak kalah terkejut, karena segenggam padi yang dimasaknya masih berwujud sama. Ia pun menanyakan hal itu kepada Jaka Tarub. “Iya, aku melihatnya. Aku minta maaf, karena tidak mendengarkan perintahmu,” ucap Jaka Tarub. Nawang Wulan tak bisa berbuat apa-apa. Sekarang, ia harus bekerja lebih giat karena kekuatan bidadarinya telah lenyap. Berkat kekuatannya itulah, segenggam padi bisa menjadi nasi yang banyak dan padi di lumbung tak kunjung habis. Berbulan-bulan berlalu. Sekarang, padi di lumbung cepat sekali habis. Saat Nawang Wulan mengambil padi untuk dimasak, ia menyentuh sesuatu di dasar lumbung. Alangkah terkejutnya Nawang Wulan saat mendapati sesuatu yang ia ambil dari dasar lumbung adalah sebuah selendang. “Bukankah ini selendangku?” ucap Nawang Wulan sambil meraba selendang itu. Benar, itu adalah selendangnya. Bersamaan dengan itu, Jaka Tarub datang. Melihat Nawang Wulan telah menemukan selendangnya, Jaka Tarub meminta maaf kepada Nawang Wulan. Tapi, Nawang Wulan sudah tak percaya kepada Jaka Tarub. Nawang Wulan memakai selendangnya, lalu kembali ke kayangan. Sementara Jaka Tarub hanya bisa menyesal. Kini, Jaka Tarub kembali sendirian, Pesan moral dari Cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari adalah Jika kita menginginkan sesuatu, berusahalah untuk mendapatkannya dengan cara yang baik. Jangan dengan mencuri, ya. Jangan suka mengingkari janji, ya. Nanti teman-teman kita akan menjauhi kita. Cerita Rakyat Nusantara terkait lainnya Bagaimana? Apakah kalian suka dengan dongeng Jaka Tarub, jika suka baca posting lainnya yaitu
RIJ7.
  • ap5zrx2ebo.pages.dev/279
  • ap5zrx2ebo.pages.dev/153
  • ap5zrx2ebo.pages.dev/26
  • ap5zrx2ebo.pages.dev/232
  • ap5zrx2ebo.pages.dev/545
  • ap5zrx2ebo.pages.dev/326
  • ap5zrx2ebo.pages.dev/460
  • ap5zrx2ebo.pages.dev/190
  • dongeng bidadari turun dari kayangan